Sejarah Tentang Pajak Bumi
Sejarah Tentang Pajak Bumi - Kita mengenal berbagai macam pajak yang kenakan terhadap tanah yang dimiliki atau digarap rakyat, sejak zaman kolonial. Pajak tersebut pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Sir Thomas Standford Raffles (1811-1814) dikenal sebagai landrent. Selanjutnya dalam pasa pemerintahan Belanda disebut Landrente. Setelah Indonesia merdeka, pajak atas tanah ini masih diberlakukan (yang disebut Pajak Bumi) sampai ordonansi/undang-undang landrente dihapuskan dan diganti pada tahun 1951 oleh Undang-undang No. 11 Tahun 1951 tentang Pajak Peralihan 1944.
Pada masa kolonial, baik pada masa pemerintahan Inggris maupun pemerintahan Belanda, pajak atas tanah yang yang disebutkan di atas dimanfaatkan hanya untuk kepentingan kaum penjajajh., bukan untuk pembangunan Hindia Belanda dan kesejahteraan rakyat bumoputra. Tetapi pada masa merdeka, hasil pungutan pajak itu dipakai untuk membiayai roda pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1959 melalui Undang-undang No. 11 Peraturan Pemerintah 1959, diberlakukan Pajak Hasil Bumi. Undang-undang ini semula hanya mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat,tanah yang dimiliki/dikuasai oleh orang-orang Indonesia asli, tidak termasuk tanah hak Barat. Karena tanag Barat tersebut diatur berdasarkan ordonansi/undang-undang Verponding Indonesia Tahun 1923 dan Ordonansi Tahun 1928. Tetapi kemudian tahun 1960 dikeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia. Hal itu dipertegas lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari 1967, Nomor: 87/Kep/U/4/1967.
Dengan demikian Undang-undang Nomor 11 Peraturan Pemerintah 1959 yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi, harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi, termasuk tanah-tanah yang diatur dalam Ordonisasi Verponding Indonesia Tahun 1923 dan Verponding Tahun 1928.
Pungutan Pajak Hasil Bumi dulu dikelola Direktorat Pajak Hasil Bumi, jawatan yang berada di bawah Departemen Iuran Negara. Yang kemudian pada 29 November 1965 berdasarkan keputusan Mentri Iuran Negara No. B.M.P.P.U 1-1-33, bernama Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Penggantian nama ini Dimaksudkan untuk menyelaraskan dengan nama departemen.
Faktor-faktor Pendorong Lahirnya Pajak Bumi Dan Bangunan
Ada beberapa faktor yang mendorong lahirnya Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Antara lain karena landasan hukum IPEDA itu kurang jelas. Misalnya beberapa macam pungutan tyang bertumpuk pada obyek yang sama: atas tanah dan banguna serta pajak rumah tangga sangat memberatkan masyarakat.
Faktor lain yang turut mendorong lahirnya Pajak Bumi dan Banguna yaitu, perundang-undangan yang selama ini menjadi dasar pemungutan pajak atas tanah dan atau bangunan yang disusun pada zaman Kolonial, tidak sesuai lagi dengan falsafah Pancasila dan tuntutan pembangunan yang terus meningkat. Ordonisas/undang-undang yang mengatur pungutan atas obyek yang sama, terlalu banyak jumlahnya sehingga membingungkan masyarakat.
Sebagai realisasi dari amanat Gris-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1983, Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang disahkan pada tanggal 31 Desember 1985 merupakan bagian dari paket Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional. Maksud dari Pembaruan sistem Perpajakan Nasional ini adalah untuk meningkatkan penerimaan pajaksehingga negara mampu membiayai pembangunan dari sumber-sumber penerimaan dalam negri. Dengan demikian pembangunan itu sendiri terjamin kelangsungannya.
Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Banguna itu sendiri disusun sebagai ganti dari 7 (tujuh) ordonisasi/undang-undang yang pelaksanaannya dulu tumpang tindih (berganda<. Tujuh ordonisasi/undang-undang iti adalah sebagai berikut:
Pada masa kolonial, baik pada masa pemerintahan Inggris maupun pemerintahan Belanda, pajak atas tanah yang yang disebutkan di atas dimanfaatkan hanya untuk kepentingan kaum penjajajh., bukan untuk pembangunan Hindia Belanda dan kesejahteraan rakyat bumoputra. Tetapi pada masa merdeka, hasil pungutan pajak itu dipakai untuk membiayai roda pemerintahan Republik Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1959 melalui Undang-undang No. 11 Peraturan Pemerintah 1959, diberlakukan Pajak Hasil Bumi. Undang-undang ini semula hanya mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat,tanah yang dimiliki/dikuasai oleh orang-orang Indonesia asli, tidak termasuk tanah hak Barat. Karena tanag Barat tersebut diatur berdasarkan ordonansi/undang-undang Verponding Indonesia Tahun 1923 dan Ordonansi Tahun 1928. Tetapi kemudian tahun 1960 dikeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia. Hal itu dipertegas lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari 1967, Nomor: 87/Kep/U/4/1967.
Dengan demikian Undang-undang Nomor 11 Peraturan Pemerintah 1959 yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi, harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi, termasuk tanah-tanah yang diatur dalam Ordonisasi Verponding Indonesia Tahun 1923 dan Verponding Tahun 1928.
Pungutan Pajak Hasil Bumi dulu dikelola Direktorat Pajak Hasil Bumi, jawatan yang berada di bawah Departemen Iuran Negara. Yang kemudian pada 29 November 1965 berdasarkan keputusan Mentri Iuran Negara No. B.M.P.P.U 1-1-33, bernama Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Penggantian nama ini Dimaksudkan untuk menyelaraskan dengan nama departemen.
Faktor-faktor Pendorong Lahirnya Pajak Bumi Dan Bangunan
Ada beberapa faktor yang mendorong lahirnya Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Antara lain karena landasan hukum IPEDA itu kurang jelas. Misalnya beberapa macam pungutan tyang bertumpuk pada obyek yang sama: atas tanah dan banguna serta pajak rumah tangga sangat memberatkan masyarakat.
Faktor lain yang turut mendorong lahirnya Pajak Bumi dan Banguna yaitu, perundang-undangan yang selama ini menjadi dasar pemungutan pajak atas tanah dan atau bangunan yang disusun pada zaman Kolonial, tidak sesuai lagi dengan falsafah Pancasila dan tuntutan pembangunan yang terus meningkat. Ordonisas/undang-undang yang mengatur pungutan atas obyek yang sama, terlalu banyak jumlahnya sehingga membingungkan masyarakat.
Sebagai realisasi dari amanat Gris-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1983, Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang disahkan pada tanggal 31 Desember 1985 merupakan bagian dari paket Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional. Maksud dari Pembaruan sistem Perpajakan Nasional ini adalah untuk meningkatkan penerimaan pajaksehingga negara mampu membiayai pembangunan dari sumber-sumber penerimaan dalam negri. Dengan demikian pembangunan itu sendiri terjamin kelangsungannya.
Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Banguna itu sendiri disusun sebagai ganti dari 7 (tujuh) ordonisasi/undang-undang yang pelaksanaannya dulu tumpang tindih (berganda<. Tujuh ordonisasi/undang-undang iti adalah sebagai berikut:
- Ordonisasi Pajak Rumah Tangga tahun 1906;
- Ordonisasi Verponding Indonesia tahun 1923;
- Ordonisasi Verponding 1928;
- Ordonisasi Pajak Kekayaan 1932;
- Ordonisasi Pajak Jalan 1942
- Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1975 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Pasal 14 hurup J, K dan 1
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No omor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi.
Pajak Bumi dan Bangunan perlu dimantapkan pelaksanaannya, karena tidak dapat disangkal lagi bahwa bumi dan bangunan dapat memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai hak atasnya atau memperoleh manaat dari padanya. Sekian, semoga artikel "Sejarah Tentang Pajak Bumi" ini bermanfaat. Wassalam.
Sumber: Dokumentasi Buku Perpajakan. (PBB)